TIDAK SEKADAR PUASA FISIK

Serpong – Ibadah puasa merupakan salah satu rukun Islam. Tujuan ibadah puasa agar kita bertakwa sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agaar kamu bertakwa.

Kata “puasa” dipinjam dari bahasa Sansekerta, sebagai terjemahan dari kata shawm atau shiyām dari bahasa Arab yang mempunyai makna yang sama, yaitu menahan diri. Secara fikih, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa berupa makan, minum, dan lainnya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.

Kelemahan manusia yang terbesar ialah ketidaksanggupan menahan diri. Ini dilambangkan dalam kisah Nabi Adam a.s. dan istrinya. Melalui puasa, diharapkan manusia dapat menahan dan mengendalikan diri. Hal ini menggambarkan bahwa pahala puasa tidak bergantung pada kadar lapar dan dahaga, tetapi pada sikap jiwa, yaitu penuh percaya kepada Allah Swt. dan penuh perhitungan kepada diri sendiri (instropeksi –self examination) yang dalam hadis disebutkan sikap jiwa īmān-an wa ihtisāb-an. Singkatnya, seharusnya berdampak perbaikan kepada pelakunya baik secara badani (fisik), nafsani (psikologis), dan ruhani (spiritual). Inilah tujuan puasa tersebut, yaitu takwa. Takwa memiliki korelasi positif dan langsung dengan budi pekerti luhur (al-akhlāq al-karīmah). Takwa harus melahirkan akhlak karimah.

Jangan sampai nilai puasa kita sia-sia karena akhlak atau perbuatan kita yang kotor. Nabi telah memperingatkan kita: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tak bisa meninggalkan) perbuatan kotor maka Allah tidak punya kepentingan apa-apa bahwa orang itu meninggalkan makan dan minum” (HR Bukhari). Dalam hadits lainnya dkita diingatkan: “Banyak sekali orang puasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar.” (H.R. Ahmad).

Bagaimana puasa bisa mengantarkan kita kepada takwa?

Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman: “Dari Abu Shalih al-Zayyat, ia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam bagi dirinya, kecuali puasa, puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang menanggung pahalanya,” (H.R. Bukhari). Berangkat dari hadis ini, kita dapat memahami bahwa mereka yang berpuasa akan menyadari sepenuhnya akan kehadiran Allah yang selalu mengawasi diri kita. Tidak ada dua orang yang berbisik-bisik kecuali Allah yang ketiga. Allah selalu menyertai mereka. Begitu kira-kira makna yang terkandung dalam ayat Alquran yang artinya: “Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Dan Allah Maha Megetahui tentang segala sesuatu yang engkau kerjakan,” (Q. 57:4).

Kerahasiaannya ini membuat ibadah puasa sangatlah personal, sangat vertikal. Efeknya adalah efek ruhani (spiritual). Justru karena efek ruhani (spiritual) inilah perbaikan yang ditimbulkannya akan sangat menyeluruh dalam diri manusia.

Agar kita dapat efek ruhani tersebut, Nurcholis Madjid (Cak Nur) menggambarkan jenjang puasa. Tiga puluh hari dalam bulan puasa ini bisa kita bagi menjadi tiga bagian. Sepuluh hari pertama adalah masa penyesuaian diri secara fisik/jasmani/badani. Dari yang semula kita makan, seperti makan pagi, siang, sore atau malam, kita ubah menjadi makan magrib, atau yang disebut buka puasa dan makan pagi menjelang fajar atau sahur.

Pada sepuluh hari yang kedua, kita harus mampu meningkatkan puasa fisik ke tingkat yang lebih tinggi (tsanawī), yaitu pada jenjang puasa nafsānī (psikologis) yang terkait dengan segi mental dan kedisiplinan diri. Puasa ini tidak hanya puasa dalam artian fisik, yakni menahan makan dan minum yang merupakan bidang kajian fikih, namun puasa harus disertai dengan peningkatan pemahaman tentang apa yang sesungguhnya harus kita tahan. Segala hal yang dapat merusak amal kebaikan seperti sū’ al-zhann (buruk sangka), ghibah, namimah, dan lainnya.

Bila dua puluh hari pertama dilalui dengan baik, maka pada sepuluh hari terakhir insyaallah kita akan dapat menjalani puasa kita dengan mujāhadah, dengan kesungguhan yang benar-benar. Pada jenjang ketiga ini kita akan mengalami puncak pengalaman kita dalam keadaan puasa. Diharapkan dapat merasakan kehadiran Allah dalam segala aktivitas kita. Kesadaran ini merupakan capaian ruhani, spiritual achievment. Sangat dimungkinkan mereka yang bisa melakukan hal tersebut akan memperoleh pahala laylat-u ‘l-Qadr.

Puasa dengan ajaran takwanya sesungguhnya melatih kita untuk jujur, memiliki integritas diri. Jujur kepada Allah berarti juga jujur kepada diri sendiri. Manusia yang selaras antara hati, lisan dan perbuatannya, suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, kita akan terhindar dari yang kita khawatirkan: “Banyak sekali orang puasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar.”

Dengan demikian, takwa tidak lain adalah suatu pola hidup yang dijalani atas dasar kesadaran bahwa seluruh tingkah laku kita selalu berada dalam pengawasan Tuhan, sebab Tuhan selalu beserta kita.

Kita berdoa semoga puasa kita termasuk dalam kategori yang Nabi saw. sampaikan dalam hadisnya: “Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, ‘Barang siapa berpuasa dengan penuh iman kepada Allah dan penuh introspeksi, maka seluruh dosanya di masa lalu akan diampuni oleh Allah,” (H.R. Bukhari). Wallahul musta’an. (LP)

(Materi ini disampaikan pada Taushiyah Taraweh di MAN Insan Cendekia Serpong, Rabu, 5 Maret 2025. Materi disadur dari Buku Pesan-pesan Takwa Nurcholis Madjid.)

Similar Posts