Menjelang fajar, suasana di kampus berbeda dari biasanya. Tiga mobil bus pariwisata Blue Star telah berbaris rapi di lapangan yang biasa dipakai upacara. Lampu dalam mobil itu menyala, tandanya ada aktivitas. Lalu-lalang siswa-siswi berpakaian seragam kaos keluar masuk bus. Warna kaos mereka tidak terlalu jelas, nampak samar warna kuning muda, maklum karena sinar lampu tak mampu mengalahkan pekatnya pagi itu. Tidak hanya digendong, ada juga yang membawa lebih dari sekedar tas gendong. Sebagian mereka membawa koper dan perlengkapan lainnya. Rupanya mereka telah siap melakukan perjalanan jauh. Arah pergerakan mereka berubah seketika saat adzan subuh mengema. Suara syahdu itu mengalahkan segala kesibukan. Pergerakan mereka semua menuju Masjid Ulil Albab di seberang lapangan.
Dari mimbar, selepas shalat dan dzikir pagi, disampaikan agar bersegera menuju bus masing-masing karena perjalanan akan segera dimulai. Disampaikan pula bahwa perjalanan ini merupakan perjalanan pembelajaran di luar kelas selama dua hari satu malam Senin sampai Selasa dengan tujuan Pulau Pari.
Tiga bus meninggalkan kampus beriringan bersamaan dengan naiknya mentari pagi. Keriangan di dalam bus berlangsung hanya sejenak. Ternyata, mereka melanjutkan doa perjalanan dengan bismika allahumma ahya wabismika amut. Mereka tertidur dengan ditemani alunan musik yang tenang. Maklum, sebetulnya mereka masih membutuhkan recovery energi setelah sibuk dengan kegiatan akbar yang melegenda itu, Sonic Linguistic. Menjelang Pelabuhan Muara Angke, keriuhan mulai terdengar.
Di halaman pelabuhan kami berbaris rapi siap berganri moda transportasi. Kapal Dolphin telah siap menanti. Kapal ini khusus disewa untuk penyebrangan rombongan madrasah. Kapasitas angkutnya sebenarnya bisa lebih dari 200 orang, namun demi kenyamanan dan keamanan, panitia meminta untuk dikhususkan dan dicukupkan hanya dengan rombongan madrasah saja. Berkat doa orang tua siswa dan semua, kekhawatiran terhadap perubahan cuaca dan lainnya tertepis. Perjalanan menyebrangi Laut Jawa selama kurang lebih dua jam ini aman dan nyaman. Bahkan kita diizinkan untuk bisa duduk di depan dan samping kapal untuk menikmati pemandangan dan udara laut di pagi hari. Alhamdulillah.
Terdengar, ada seseorang yang antusias menceritakan nama pulau yang terlihat walau masih agak jauh. “Wah untung kita nih. Rutenya bisa lihat beberapa pulau. Yang di sebelah kanan kita, itu Pulau Cipir kalau yang agak jauh dan besar itu Pulau Bidadari, kalau yang ada bentengnya itu Benteng Mortello kalau gak salah.” “Kalau yang sebelah kiri ini pulau apa? Ada bentengnya juga?” terdengar ada salah satu siswi yang bertanya. “Itu Pulau Onrust. Zaman penjajahan dulu, pulau ini dipakai untuk tempat karantina calon haji. Coba nanti tanya guru sejarah ya.” Obrolan sejarah itu terhenti ketika tetiba ada ikan terbang yang menyalip kita. Sorak takjub pun memecah suasana.
“Permisi Pak, Bu.” Terdengar petugas kapal meminta kita untuk sedikit bergeser. Rupanya pulau tujuan sudah dekat. Menjelang dermaga kita dikagetkan dengan gelombang air yang tetiba menggoyangkan kapal kita. Ternyata ada kapal cepat lewat mendahului. Gelombangnya membangunkan sebagian rombongan yang masih terlena dengan ayunan lembut gelombang laut tenang. “Itu kapal dari Marina Pak.” Jelas petugas kapal. “Dia merapatnya sebelah kanan yang ada bantalannya. Kalau kita di sebelah kiri, agak tinggi memang, harus hati-hati. Nah kalau yang tengah ini biasanya kpal-kapal dari Tangerang.” Lanjutnya. “Anak-anak kita sudah sampai. Tolong persiapkan semuanya, jangan sampai ada yang tertinggal. Nanti yang turun akhwat dulu. Bergantian.” Suara komando terdengar dari Pak Tri, ketua panitia yang selalu sigap. “Semua turun dari depan. Jangan ada yang lompat dari samping. Ikuti arahan petugas.” Panitia mengingatkan bergantian.
Setelah merapat, isyarat aman disampaikan petugas. Untuk memudahkan, Bapak Ibu Guru pendamping turun terlebih dahulu. Mereka membantu akhwat untuk turun dari kapal. Satu persatu turun dengan aman dan lancar. Patugas dari daratan mengingatkan ikhwan agar bersabar, tidak melompat dari samping kapal demikian juga Bapak-Ibu Guru pendamping. Sampai akhirnya dikagetkan dengan suara “byur…” Terdengar dari samping belakang kapal. Ada barang yang jatuh rupanya. Oh… ternyata salah satu ikhwan ada yang terjatuh. Semua kaget. Namun dengan kesigapan petugas, dia bisa diangkat ke daratan. “Kamu ga apa-apa? Ada yang luka?” terdengar perawat segera mendampingi dan memeriksanya dengan seksama. “Ngga Bu, baik-baik saja. Cuma lecet di tangan saja sama basah” jawabnya. Syukurlah.
Setelah turun semua dari kapal, para pendamping mengumpulkan masing-masing anggotanya. “Nanti, di setiap rumah ada daftar namanya. Di depan rumah ada sepeda yang bisa dipakai untuk keliling pulau. Yang paling depan silakan mulai jalan” Pak Ketua memberikan arahan. Sementara panitia lainnya mengumpulkan perlengkapan “berat” untuk diangkut bentor roda tiga ke tempat penginapan. Tempat penginapan (home stay) terdiri dari beberapa rumah. Setiap rumah diisi paling banyak 10 orang. Masing-masing kelompok langsung menuju home stay-nya. Hanya dalam hitungan menit, mereka sudah sampai semua. Dan tidak lama berselang, gang depan rumah telah rampai berseliweran siswa-siswi bersepeda. Udara panas dan sinar matahari yang mulai menyengat tak menghalangi keriangan mereka. “Assalamu’alaikum” “wa’alaikumussalam”, sapa salam mewarnai siang itu. Salam terdengar setiap mereka berpapasan atau melewati home stay Bapak-Ibu Guru pendamping dan penduduk setempat. Alhamdulillah mereka nampak ceria-bahagia. Tenang dan lega hati rasanya. Keseruan baru saja akan dimulai. (iede)